Salah satu fenomena yang patut mendapat perhatian dalam konteks ini terjadi pada sebuah daerah yang kental dengan adat istiadat serta syariatnya. Di daerah tersebut, muncul sebuah fenomena budaya yang layak disoroti, yaitu "beli suami (khusus yang berseragam)". Fenomena ini bukan lagi sekadar guyonan lokal atau candaan di grup arisan ibu-ibu, melainkan telah berkembang menjadi budaya dan tradisi yang menjadi semacam norma sosial tak tertulis yang membentuk ekspektasi. Konon, para perempuan di daerah tersebut tak perlu lagi repot-repot mengukur makna cinta secara mendalam atau mencari kecocokan visi hidup. Cukup satu pertimbangan: berseragam. Karena mereka yang berseragam, terutama dari profesi sebagai abdi negara, dianggap sebagai "paket lengkap" yang melambangkan kestabilan ekonomi, ketertiban hidup, dan status sosial yang lebih tinggi.
Namun, di balik tampilan luar yang tampak mengagumkan, budaya ini menyimpan sejumlah persoalan yang penting untuk dibedah, terutama melalui pendekatan dan kacamata teori sosial. Budaya “beli suami berseragam” bertentangan dengan teori Pierre Bourdieu tentang modal sosial dan habitus. Dalam fenomena ini, seragam dianggap sebagai bentuk modal simbolik atau penanda status yang dihormati dalam struktur sosial. Sehingga dalam proses ini, perempuan dan keluarganya berbondong-bondong mengincar pria-pria berseragam sebagai calon menantu. Secara tidak sadar, mereka tengah menginternalisasi habitus masyarakat yang mengaitkan harga diri perempuan dengan siapa suaminya. Budaya ini juga secara tidak langsung memperkuat relasi kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan.
Fenomena ini juga bisa ditilik dari sudut pandang teori feminisme, di mana terdapat kecenderungan pemujaan terhadap simbol eksternal seperti seragam, yang memperkuat konstruksi gender lama. Laki-laki lebih diposisikan sebagai penyedia dan pelindung, sementara perempuan sebagai penerima dan pengagum. Dalam sistem budaya semacam ini, perempuan kehilangan otonomi atas pilihannya sendiri, dan laki-laki dikondisikan untuk mengukur nilai diri mereka dari atribut eksternal.
Hadis ini dapat menjadi rujukan dalam menghadapi kecenderungan menjadikan simbol luar seperti seragam dan profesi sebagai dasar utama dalam memilih pasangan. Dalam pandangan Islam, justru agama dan akhlak merupakan fondasi utama dari hubungan yang sehat dan langgeng. Selain itu, Islam juga memandang penting prinsip kafa’ah (kesetaraan) dalam pernikahan, yang tidak hanya dilihat dari status sosial atau ekonomi, tetapi juga dari kesamaan visi hidup, kedewasaan spiritual, dan komitmen terhadap nilai-nilai Islam.
Dengan demikian, pernikahan dalam pandangan Islam adalah tentang membangun relasi yang saling menguatkan, bukan sekadar mengejar simbol-simbol duniawi yang bersifat semu. Dalam jangka panjang, masyarakat yang membiarkan budaya ini berkembang tanpa kritik akan terjebak dalam pola pikir materialistik yang dangkal. Ukuran kesuksesan rumah tangga tidak lagi ditentukan oleh keharmonisan dan keberkahan, tetapi oleh tampilan luar dan pencapaian simbolik. Hal ini tentu bertentangan dengan ajaran Islam yang menempatkan keberkahan, ketenteraman, dan saling mendukung dalam kebaikan sebagai tujuan utama dari sebuah pernikahan.
Maka dari itu, masyarakat perlu membangun kembali kesadaran bahwa pernikahan bukanlah ajang pamer simbol sosial, melainkan komitmen panjang yang membutuhkan kedewasaan emosional dan spiritual. Budaya “beli suami berseragam”, meskipun mungkin tumbuh dari kekaguman yang wajar, telah berkembang menjadi konstruksi sosial yang membatasi makna cinta, merendahkan relasi, dan menciptakan tekanan psikologis bagi kedua pihak. Sudah saatnya masyarakat, terutama generasi muda, memaknai relasi dengan cara yang lebih sehat, adil, dan berakar pada nilai-nilai kemanusiaan serta spiritualitas Islam. Bukan seragam yang menjadi penentu keberkahan, melainkan niat yang tulus, komitmen yang jujur, dan keimanan yang kuat dalam membangun rumah tangga yang penuh makna dan berkah.